KOPI RAMADAN: Survival Mode On

Ilustrasi Kopi Ramadhan
Ilustrasi Kopi Ramadhan

KOPI RAMADAN: Survival Mode On

Oleh: Dethree Jayadi, M.Pd. –  Koord. Bid. Sosial Keagamaan PPJBS

Bacaan Lainnya

Cyber Pesantren | Kedatangan bulan Ramadan setiap tahun, membawa serta keberkahan, kesabaran, dan ujian ketahanan khususnya bagi para pecandu kafein (coffee lover). Bulan suci ini bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang mengendalikan nafsu, termasuk nafsu untuk meneguk segelas kopi hitam di pagi hari, apalagi cita rasa kopi Bengkulu yang aroma dan rasanya tiada duanya.

Bagi mereka yang terbiasa membuka mata dengan aroma kopi lokal maupun espresso, Ramadan adalah masa survival yang menguji batas kesabaran dan kreativitas dalam mencari cara agar tetap waras tidak oleng tanpa asupan kafein selama lebih dari 12 jam.

 

Ritual Minum Kopi: Sebelum dan Sesudah Ramadan

Bagi pencinta kopi, ritual pagi bukan sekadar menyeduh secangkir hitam pekat, melainkan sebuah perayaan kecil sebelum menghadapi dunia. Bangun pagi, sehabis subuhan, dan langsung menuju dapur atau kafe favorit—semua itu bagian dari rutinitas sakral. Bagi mereka yang akrab dengan single origin (seperti kopi Bengkulu), cold brew (kopi es), atau latte art, Ramadan mengubah segalanya.

Di hari-hari awal puasa, terjadi kepanikan massal. Ada yang mencoba minum kopi sebanyak mungkin sebelum imsak, berharap kafein tetap bertahan di dalam tubuh seperti unta menyimpan air di punuknya. Ada juga yang berpikir, “Mungkin kopi tanpa kafein bisa jadi solusi?” Hasilnya? Sama saja seperti nonton film horor tetapi tanpa suara—tidak ada gregetnya.

Lalu datanglah fase adaptasi. Kopi pindah waktu ke sahur atau berbuka. Sahur dengan espresso? Risikonya, perut melilit sepanjang hari. Berbuka dengan cappuccino? Lambung yang kosong sejak pagi bisa kaget seperti handphone yang langsung dicas dari 0% ke 100%. Akhirnya, banyak yang menyerah dan hanya bisa menatap cangkir kopi dengan penuh kerinduan dan penuh harap.

 

Analisis Psikologis Ketergantungan Kafein

Ketergantungan terhadap kopi bukan sekadar kebiasaan, melainkan fenomena psikologis yang bisa diuraikan secara ilmiah. Kafein merangsang sistem saraf pusat, meningkatkan kewaspadaan, dan mengusir rasa kantuk. Ketika asupannya tiba-tiba dihentikan, tubuh bereaksi dengan berbagai cara: nyut-nyut sakit kepala, mudah marah, hingga merasa seakan-akan dunia ini kejam dan tidak adil, padahal tidak segitunya juga.

Di hari-hari awal puasa, gejala withdrawal kafein menjadi drama yang lebih besar dari sinetron prime time. Kepala berat seperti dipukul godam, mata terasa berat, dan suasana hati berubah-ubah seperti cuaca di bulan Maret atau April. Efek psikologisnya? Produktivitas turun, konsentrasi buyar, dan tingkat emosi naik drastis. Jika biasanya seseorang bisa tersenyum saat ditegur bos, kini mereka hanya bisa menatap dengan tatapan kosong dan membatin, “Ini semua gara-gara kopi.”

Namun, di minggu kedua Ramadan, tubuh mulai beradaptasi. Mereka yang biasanya hidup bergantung pada kopi mulai menyadari bahwa ternyata mereka bisa juga berfungsi tanpa kafein (meskipun dengan sedikit kepedihan). Pada titik ini, banyak yang mengalami pencerahan: “Mungkin selama ini aku tidak butuh kopi, hanya butuh tidur yang cukup.”

 

Kritik Humor Budaya Kafein

Budaya minum kopi telah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Pergilah ke kafe mana pun, dan Anda akan menemukan manusia dari berbagai latar belakang: mahasiswa yang mencoba menyusun skripsi dalam satu malam, pekerja kantoran yang berusaha terlihat sibuk, hingga bapak-bapak yang sebenarnya lebih tertarik membicarakan politik dibanding menikmati kopi mereka.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar