Rumi: Saat Perut Kosong, Hati Mabuk Cinta

Anwar Fathoni
Anwar Fathoni

 

Cyber Pesantren | Ada seorang guru sufi sedang duduk bersila di sudut rumahnya, matanya sayu karena puasa, tetapi bibirnya tersenyum penuh makna. Seorang muridnya datang dan bertanya, “Syekh, apa hikmah dari Ramadan?”

Bacaan Lainnya

Sang sufi, yang tak lain adalah Jalaluddin Rumi, tertawa kecil dan menjawab, “Nak, Ramadan itu seperti jatuh cinta. Perutmu kosong, tetapi hatimu penuh. Kamu lemah, tetapi jiwamu menari.”

Sang murid manggut-manggut, lalu mendekat dan berbisik, “Tetapi Syekh, kenapa setiap kali berbuka, saya justru makan seperti unta yang tersesat di padang pasir?”

Rumi menghela napas, menepuk pundaknya, dan berkata, “Karena kamu sibuk memberi makan perutmu, tetapi lupa mengenyangkan jiwamu.”

Dan begitulah Ramadan, bulan penuh puasa, penuh doa, dan… penuh godaan takjil.

 

Saat Lapar, Kita Baru Mengerti

Rumi pernah berkata, “Saat perutmu kosong, pintu-pintu ruh terbuka.” Sungguh bijak, tetetapi di zaman sekarang, kebanyakan orang justru membuka pintu kulkas.

Lapar di bulan Ramadan sering kali menjadi sumber inspirasi yang mendalam. Bayangkan betapa banyak orang yang tiba-tiba menjadi penyair dadakan di siang hari, menghayal tentang nasi padang, ayam penyet, dan martabak manis. Bahkan, ada yang sampai mengarang syair:

Duhai es teh manis di petang hari,

Kau lebih indah dari bulan purnama,

Menanti hadirmu, daku bersabar diri,

Tetapi kalau tak ada, aku tetap bahagia (walau sedikit drama).

Namun, di balik canda lapar dan imajinasi tentang hidangan berbuka, Ramadan adalah momen yang mengajarkan kita makna sesungguhnya dari lapar. Kita merasakan bagaimana orang miskin bertahan hidup setiap hari. Kita menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada kenyangnya perut, tetapi pada lapangnya hati.

Rumi sendiri memahami ini. Dalam syairnya, ia berkata:

Bersabarlah, wahai jiwa yang lapar.

Kau tak kehilangan apa-apa kecuali rantai nafsumu.

Dan benar, bukan? Bukankah saat lapar, kita justru lebih peka? Lebih mudah menangis saat mendengar lantunan ayat suci, lebih cepat tersentuh melihat orang lain susah, dan—ini yang unik—lebih mudah tersulut emosi saat ada yang menyerobot antrean gorengan!

 

Ketika Ramadan Menjadi Ajang Festival Makan dan Ngantuk Nasional

Ada satu fenomena menarik yang selalu terjadi di bulan Ramadan: kita berpuasa di siang hari, tetapi makan seperti sultan di malam hari. Konsepnya sederhana, kita menahan diri dari subuh hingga magrib, lalu menumpahkan segala dendam lapar dalam satu sesi berbuka yang epik.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *