Oleh: Muhammad Arif Luthfi, M.Pd. Ketua LPM STIT Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan
Cyber Pesantren | Setiap Ramadan tiba! Waktunya umat Islam menunaikan ibadah puasa, memperbanyak amal, dan…… juga sibuk atur jadwal bukber. Grup WhatsApp yang tadinya sepi mendadak ramai.
“Guysss, bukber kapan?” Satu pesan dilempar, seribu balasan datang. Mulai dari, “Aku free kok, terserah, kapan aja” sampai, “Jangan tanggal segini ya, aku ada jadwal bukber lain.” Sungguh, jadwal buka bersama lebih padat daripada agenda pejabat negara.
Bukber, alias buka puasa bersama, bukan sekadar makan bareng. Ini tradisi tahunan yang punya makna lebih luas—katanya. Dari ajang silaturahmi, reuni dadakan, sampai ajang flexing (pamer) siapa yang hidupnya paling sukses pasca-lulus sekolah. Yang penting, niat awalnya baik: mempererat tali persaudaraan. Tapi, apakah realitanya memang begitu?
Ajang Silaturahmi dan Berbagi Rezeki
Tidak bisa dipungkiri, bukber memang jadi momen langka untuk ketemu kawan lama. Biasanya, kita cuma saling like story Instagram atau sekadar ngetik “HBD bro” di kolom komentar.
Tapi, di bulan Ramadan, tiba-tiba muncul rasa rindu dan ingin bertemu. Bukber pun jadi solusi. Saling berbagi cerita, tanya kabar, dan tentu saja berbagi rezeki.
Biasanya, ada tipe orang yang royal mentraktir, dengan dalih, “I udah sukses sekarang, santai aja!” Lalu ada juga yang mendadak jadi ninja pas giliran bayar, pura-pura sibuk cari parkiran.
Fenomena “si paling tajir” dan “si paling ngilang” ini sudah jadi bumbu wajib dalam setiap acara bukber. Tapi ya sudahlah, yang penting silaturahmi tetap terjalin.
Sibuk Makan Bukber Telat Maghriban
Seharusnya, inti dari buka puasa adalah berbuka dan menunaikan salat Maghrib tepat waktu. Tapi kenyataan di lapangan? Baru duduk, langsung sibuk pesan makanan. Pas makanan datang, semuanya langsung khusyuk. Bukan doa, tapi sibuk foto-foto. “Eh, bentar! Jangan makan dulu! Aku belum foto buat Instastory!” Lima menit kemudian, baru suapan pertama masuk ke mulut.
Gara-gara keasikan makan dan ngobrol, azan Isya sudah berkumandang, tapi Maghrib masih diutang. Ada yang sadar, ada juga yang pura-pura nggak dengar. “Ntar aja deh, biar sekalian Tarawih.” Tapi ujung-ujungnya, malah lanjut ngobrol, dan akhirnya batal salat Tarawih juga. Bukber memang acara ibadah, tapi sayang, ibadahnya lebih sering cuma jadi wacana.
Fenomena Bukber: Ajang Nostalgia daripada Ibadah
Mungkin ini alasan kenapa bukber lebih sering terasa seperti reuni tahunan dibanding acara religi. Seringkali, orang datang bukan buat mendekatkan diri kepada Allah Swt, tapi lebih untuk mengobati rasa kangen dengan teman lama. Apalagi kalau datang ke bukber alumni.
Dimulai dari cerita zaman sekolah yang konyol, lanjut ke update kehidupan masing-masing, sampai sesi ghibah yang nggak bisa dihindari. “Eh, si A sekarang udah nikah, anaknya dua loh!” atau “Aku denger si B sekarang jadi crazy rich!” dan tentu saja, “Si C kemana ya? Kok nggak pernah keliatan?”
Yang lebih absurd, ada juga yang datang bukber cuma buat ngecek status mantan. Apakah masih available atau sudah di-take orang? Kalau masih sendiri, langsung modus, “Kok kita jomlo (versi KKBI, bukan jomblo) terus ya? Dulu kenapa sih kita putus?” Kalau sudah menikah, pasang muka sok bahagia sambil bilang, “Wah, senang yaah lihat awak bahagia!” padahal hatinya ingin rebahan di sajadah, merenungi nasib.
Eksistensi “Teman Cuma Ketemu Pas Bukber”
Di luar Ramadan, komunikasi nihil. Bahkan, kalau ketemu di jalan, kadang pura-pura nggak kenal. Tapi begitu masuk bulan puasa, langsung sok akrab. “Brooo, lama nggak ketemu! Kapan bukber nih?” Padahal, terakhir ketemu pas bukber tahun lalu. Bahkan mungkin, nama di kontak HP pun sudah hampir dihapus karena nggak pernah ada interaksi.
Fenomena “teman bukber” ini unik. Seringnya, habis acara selesai, balik lagi ke mode ghosting satu sama lain. Bukannya jahat, tapi memang begitulah dinamika pertemanan. Ramadan jadi satu-satunya waktu yang bisa menyatukan orang-orang yang biasanya sibuk dengan hidup masing-masing. Lucunya, tiap tahun tetap diulang lagi. Begitu Ramadan tiba, siklus “teman bukber” kembali aktif.
Bukber, Reuni atau Ibadah?
Jadi, buka puasa bareng ini lebih ke makan-makan atau reuni tahunan? Jawabannya: dua-duanya. Bukber memang bisa jadi ajang silaturahmi yang baik, tapi jangan sampai kehilangan esensi ibadahnya. Jangan sampai saking hebohnya ngobrol dan makan, kita malah lupa salat. Bukan berarti nggak boleh nostalgia, tapi ya seimbangkanlah. Kalau bisa salat tepat waktu, kenapa harus ditunda?
Yang terpenting, bukber jangan cuma jadi formalitas tahunan yang isinya flexing atau ajang nostalgia belaka. Lebih dari itu, manfaatkan untuk benar-benar mempererat silaturahmi dengan niat yang baik. Karena pada akhirnya, Ramadan bukan cuma tentang makan bersama, tapi juga soal berbagi keberkahan dan meningkatkan keimanan. Jangan sampai, tiap tahun heboh nyari tempat bukber, tapi lupa nyari tempat di surga. Amin! []
|
1 Komentar