Interpretasi yang Berbeda, Membawa hasil yang Berbeda

Ditulis Oleh : Agus Prasetya, Mahasiswa Pasca Sarjan UIN Malang, tenaga pendidik Pon-Pes Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan*

Sudah bukan hal yang tabu bahwa dalam kehidupan selalu ada perbedaan. Karena perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah dan tidak dapat dihindarkan. Sehingga sepintar manusianya menghadapi perbedaan itu. Dalam semua hal akan timbul perbedaan jika yang menghadapi lebih dari satu kepala. Bahkan dalam urusan agama pun yang notabenenya penyampainya dan sumbernya adalah satu, yaitu Nabi Muhammad SAW dan AL-Qur’an saja banyak perbedaan pendapat dan pemikirannya.

Semasa Nabi, para sahabat menerima hadits dari sumber yang sama dan jalur yang sama, namun dalam interpretasinyapun masih ada perbedaan-perbedaannya, apalagi dalam implementasi hukumnya. Cara memandang dan memahami hal berbeda maka akan menghasilkan hal yang berbeda pula. Ada kalangan yang memahami sesuai dengan redaksi atau teksnya, maka akan berbeda dengan mereka yang memahami dengan melihat konteksnya.

Ada cerita yang menarik tentang hal ini agar kiranya dapat dijadikan pemikiran masalah perbedaan dalam cara pandang. Cerita ini disampaikan oleh rekan kami Sdr. Ardiyangsyah (Palu), beliau adalah muridnya Habib Sayid Saggab Al-Jufry, MA dari Pondok Pesantren Al-Khairat Palu.

Ada dua anak dimana sang ayah sudah hamper meninggal. Dalam masa-masa kritis ini sang ayah memberikan wasiat atau wejangan kepada anaknya, “Anakku, Ingat nasihat terakhir dariku dan jika kalian jalankan Insya Allah usaha yang kalian jalankan akan sukses. Pesanku adalah Jangan pernah kena matahari dan yang kedua jangan pernah menagih hutang”  Kedua anak itu pun merenungi pesan dari sang ayah dan berusaha memahami apa yang dimaksud dari sang ayah.

Dalam waktu 10 tahun kemudian sang Ibu berkunjung kepada kedua anaknya, pertama beliau berkunjung kepada anaknya yang paling tua. Begitu terkejutnya sang ibu melihat anaknya hidup miskin dan jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu semasa ayahnya masih ada. Ibu pun bertanya pada anaknya “Anakku, apa yang terjadi? Kenapa hidupmu seperti ini?” sang anak menjawab “Ini semua gara-gara pesan ayah, bu, jadi aku hidup seperti ini. Usahaku gagal semua Ayah bilang jangn pernah kena matahari, makanya saya punya sepeda motor saya tukarkan dengan mobil. Dari sana hidupku sudah mulai agak sulit, ditambah pesan kedua ayah jangan pernah nagih hutang. Toko ku berapa kali tutup karena banyaknya orang yang berhutang dan saya tidak berani nagih karena pesan ayah” sang ibu pun diam.

Setelah pulang dari rumah anaknya yang tua, ibu itu pun mengunjungi anaknya yang satunya. Disana ibunya melihat anaknya yang sukses, punya mobil, rumah dan toko yang besar. Ibu itu pun bertanya pada anaknya “Anakku, bagaimana bisa usahamu sesukses ini?” sang anak dengan tersenyum bangga menjawab “Ibu, ini semua berkat nasihat ayah. Aku jalanin nasihat ayah sampai sekarang dan Alhamdulillah usahaku sukses bu” Ibu itu terkejut dan bertanya lagi “Kenapa bisa begitu?” Anaknya menjelaskan “ Ayah berpesan jangan pernah kena matahari, jadi setiap hari setelah shalat subuh dan sebelum matahari terbit aku sudah berangkat ketoko, bu. Dan pesan ayah kedua jangan pernah nagih hutang jadi di toko ku tidak ada seorang pun yang boleh berhutang bu, dengan begitu aku tidak akan menagih hutang. Dan hasilnya sekarang seperti ini, bu” Ibu itu pun tersenyum.

Pesan yang disampaikan oleh orang yang sama, waktu yang sama, disampaikan kepada dua orang yang berbeda akan menghasilkan hal yang berbeda jika cara memahaminya yang berbeda. Ada beberapa hal yang dapat kita pahami hanya dengan melihat teksnya saja, namun ada juga beberapa hal yang harus kita lihat maksud dari teks tersebut. Sehingga ketika kalimat itu ditujukan dengan harus memahami maksud didalamnya, maka pemahaman teks saja akan keluar dari maksud sang mutakkalim.

 Dal hal ini, dalam era sekarang, ada golongan yang bersikeras dengan pemahaman teksnya dan ada juga mereka yang memahaminya dengan kaidah maqosidnya. Apakah ada salah satunya yang salah? Tidak, mereka tidak salah selama mereka punya pemahaman dan alasan tersendiri yang benar dan dianggap benar. Apakah harus dipaksakan sama semuanya? Juga tidak. Karena cara pemahaman dan perbedaan itu sudah kehendak Allah sendiri.

Tergantung diri kita masing-masing, meyakini mana yang menurut kita benar berdasarkan alasan untuk membenarkan itu. Ketika dua hal yang berbeda dihadapkan kepada kita dan kita menganggap semuanya benar, maka Iftahiqolbak, tanyakan kepada hati yang didasari pengetahuan dan pemahaman yang cukup dalam masalah itu.

Wallahu a’lam bishowab []

Loading


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *