Ketika Lilin Iman Menyala, Tetapi Perut Minta Padam

Bachtra Dona Lubis
Bachtra Dona Lubis

 

Cyber Pesantren | Ramadan adalah bulan di mana iman kita diuji, bukan hanya oleh godaan duniawi, tetapi juga oleh perut yang kadang punya kemauan sendiri. Seperti kisah lilin dalam ajaran Rumi, kita diajarkan untuk rela “terbakar” demi cahaya spiritual.

Bacaan Lainnya

Tapi jujur saja, terkadang yang lebih terasa terbakar adalah perut kita yang keroncongan sepanjang hari!

Mari kita kaji Ramadan dengan cara yang lebih santai, penuh humor, tapi tetap reflektif. Anggap saja ini seperti ngabuburit sambil curhat tentang perjuangan menahan diri antara iman yang menyala dan perut yang protes.

 

Lilin Iman Lawan Api Lapar: Siapa yang Menang?

Setiap pagi, kita memulai hari dengan niat kuat. Setelah sahur, hati terasa penuh keikhlasan. Kita berpikir, hari ini aku akan berpuasa dengan penuh kesabaran!

Namun, kenyataan berkata lain:

Pukul 09.00 – Masih semangat. “Alhamdulillah, ini ringan!”

Pukul 12.00 – Mulai merasa ada yang tidak beres. Bayangan es teh manis mulai muncul di kepala.

Pukul 15.00 – Menghitung mundur waktu berbuka seperti detik-detik ujian nasional.

Pukul 17.00 – Satu jam terakhir terasa seperti setengah abad.

Pukul 18.30 – “Kenapa adzan Maghrib belum juga berkumandang? Apakah waktu melambat di bulan Ramadan?”

Seperti lilin yang perlahan meleleh, iman kita diuji seiring dengan semakin dekatnya waktu berbuka. Tapi inilah Ramadan—bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang menahan diri dari godaan dan mengendalikan hawa nafsu, termasuk nafsu untuk marah ketika antrean beli takjil terlalu panjang!

 

Lilin Sahur: Antara Keikhlasan dan Kantuk

Sahur adalah momen yang penuh berkah, tetapi juga penuh drama. Bagi sebagian orang, bangun sahur itu seperti ikut kompetisi antara iman dan bantal.

Ada beberapa tipe orang saat sahur:

Pertama, Sang Pejuang, bangun sebelum alarm berbunyi, sahur dengan tenang, lalu sempat tahajud sebelum Subuh.

Kedua, Si Setengah Sadar, bangun dengan mata masih setengah tertutup, makan dengan satu tangan, dan setengah sadar menelan makanan yang mungkin sudah lewat tanggal kedaluwarsa.

Ketiga, Kaum Percaya Niat, bangun satu menit sebelum Subuh, minum seteguk air, lalu berkata, “Yang penting sudah niat puasa.”

Seperti lilin yang tetap menyala meskipun hampir padam, kita tetap berusaha menjalani sahur dengan sebaik mungkin, walaupun kadang lebih banyak menguap daripada mengunyah.

 

Cahaya Ramadan: Menemukan Keindahan di Tengah Cobaan

Dalam kisah Rumi, lilin adalah simbol pengorbanan dan ketulusan. Begitu juga dengan Ramadan. Di balik rasa lapar dan kantuk, ada banyak berkah yang kita rasakan.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *