Saat Ramadan, budaya ini diuji. Kafe-kafe yang biasanya ramai di pagi hari berubah menjadi sunyi. Para barista (peramu minuman kopi) kehilangan pelanggan setia yang biasanya duduk di pojok dengan laptop dan tatapan penuh filosofi, menyeruput flat white atau affogato.
Namun, di malam hari, kafe kembali hidup. Minuman berbasis kopi menjadi menu favorit setelah tarawih, seakan-akan semua orang perlu menebus jam-jam tanpa kafein di siang hari.
Di satu sisi, kita bisa melihat betapa mendalamnya ketergantungan manusia modern terhadap kopi. Seolah-olah tanpa kopi, pekerjaan tak bisa selesai, percakapan tak bisa mengalir, dan hidup kehilangan maknanya.
Di sisi lain, Ramadan mengajarkan bahwa semua ini hanyalah ilusi. Jika seseorang bisa bertahan sebulan penuh tanpa kopi di pagi hari, bukankah itu bukti bahwa ketergantungan tersebut sebenarnya bisa dikendalikan?
Menemukan Keseimbangan antara Kafein dan Keimanan
Pada akhirnya, Ramadan bukan hanya soal menahan diri dari makanan dan minuman, serta yang membatalkannya, tetapi juga tentang memahami kebutuhan versus keinginan. Kopi memang enak dan bisa menjadi penyelamat dalam keseharian, tetapi Ramadan mengajarkan bahwa hidup tetap berjalan meskipun tanpa satu tegukan si Hitam di pagi hari. Jadi, bagi para pecandu kopi, bulan ini bukanlah akhir dari segalanya.
Sebaliknya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa bertahan tanpa kafein—atau setidaknya, menemukan cara baru untuk menikmatinya dalam batas yang wajar. Setelah semua ini berakhir, satu hal yang pasti: tegukan pertama kopi Bengkulu, setelah Ramadan akan terasa luarrr biyasah lebih nikmat dari biyasahnya. []
1 Komentar