Perintahnya “SYIAM” Niatnya “SHAUM” Begini Penjelasannya!

Riza Muzaki
Riza Muzaki

 

Kesimpulannya, perbedaan antara “Shaum” dan “Shiyam” terletak pada cakupan maknanya. “Shaum” bersifat lebih umum, sementara “Shiyam” lebih spesifik dalam konteks puasa secara fikih.

Bacaan Lainnya

Oleh karena itu, puasa Ramadan dan puasa sunnah bisa disebut “shiyam”, tetapi juga bisa disebut “shaum”. Namun, menahan diri dari perkataan buruk, emosi negatif, dan perbuatan tercela hanya dapat disebut “shaum”, bukan “shiyam”.

Dalam hadis, Nabi Muhammad Saw. menggunakan kedua istilah ini secara bergantian. Contohnya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari:

“La shauma fauqa shaumi Dawuda ‘alaihis salam shathr al-dahr. Shum yauman wa afthir yauman.”

(Tidak ada puasa yang lebih utama dari puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka).

Juga dalam hadis lain:

“Ahabbu al-shalati ilallah shalatu Dawuda ‘alaihis salam. Wa ahabbu al-shiyami shiyamu Dawuda.”

(Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud, dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Nabi Dawud).

Self-Healing dengan Iman, Menemukan Ketenangan di Tengah Kegelisahan

Dari sini, dapat dipahami bahwa “Shiyam” adalah bagian dari “Shaum”. Sementara “Shaum” tidak selalu berarti “Shiyam”. Menahan diri dari kemarahan, perkataan buruk, dan hawa nafsu juga termasuk “Shaum”. Inilah hikmah mengapa dalam niat puasa yang digunakan adalah “shaum”, bukan “shiyam”:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Begitu pula dalam hadis Qudsi, Allah Swt. berfirman:

الصوم لي وأنا أجزي به 

“As-Shaumu li wa Ana ajzi bihi.”

(Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya).

Dengan memahami perbedaan ini, kita menyadari bahwa puasa bukan hanya soal menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri, tetapi juga menahan diri dari berbagai hal yang merusak hati dan jiwa. Oleh karena itu, “shiyam” diwajibkan dalam waktu tertentu, sementara “shaum” adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus kita jalani setiap saat. Wallahu A’lam.

|

Kontributor: Riza Muzaki, Pembina Tahfidzul Quran Pesantren Makrifatul Ilmi

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar