Puasa atau Diet? Motivasi yang Tertukar

Dokumen Foto Nyai Hj. Siti Halimah bersama KH. Abdullah Munir
Dokumen Foto Nyai Hj. Siti Halimah bersama KH. Abdullah Munir

Puasa atau Diet? Motivasi yang Tertukar

Oleh: Nyai Hj. Siti Halimah

Bacaan Lainnya

 

Cyber Pesantren | Puasa di bulan Ramadan sejatinya adalah ibadah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt, meningkatkan level ketakwaan, serta melatih kesabaran dan empati. Namun, bagi sebagian orang, esensi puasa seakan berubah menjadi program diet kilat yang harus sukses dalam 30 hari.

Timbangan menjadi kiblat, kalori menjadi zikir harian, dan target utama bukan lagi rida Ilahi, melainkan ukuran lingkar pinggang yang menyusut. Alih-alih bertanya, “Apakah puasaku diterima?”, mereka lebih sering bertanya, “Sudah turun berapa kilo?” Sebuah realitas yang cukup miris sekaligus ironis dan juga menggelikan.

Salah satu fenomena yang acap kali terjadi adalah pergeseran fokus dari pembersihan jiwa menjadi pengurangan berat badan. Bukannya merenungkan berapa banyak dosa yang telah dihapus melalui ibadah dan istighfar, yang ada malah sibuk menghitung berapa banyak kalori yang terbakar dalam sehari.

Makanan berbuka pun bukan lagi perkara keberkahan dan kesederhanaan, tetapi justru strategi makro dan mikro nutrisi. “Jangan makan gorengan, nanti kalorinya meledak!” lebih sering terdengar daripada “Jangan makan berlebihan, nanti puasanya sia-sia.” Seakan-akan tujuan utama puasa bukan untuk menahan hawa nafsu, melainkan untuk memastikan tubuh tetap dalam kondisi ideal versi sosial media.

Selain itu, ada juga kelompok yang menjadikan puasa sebagai alasan untuk berhenti berolahraga sepenuhnya. Mereka menganggap puasa sebagai momen istirahat total dari segala bentuk aktivitas fisik. “Kan lagi puasa, nggak boleh capek!” menjadi mantra sakti yang dijadikan dalih untuk rebahan sepanjang hari.

Baca Juga: Panduan Ibadah Haji: Amalan dan Doa untuk Perjalanan Suci yang Aman dan Nyaman

Padahal, Islam sendiri tidak pernah mengajarkan kemalasan. Jika di zaman Rasulullah Saw para sahabat masih bisa berperang dalam keadaan berpuasa, masa iya kita lari kecil 10 menit saja sudah merasa seperti korban peperangan? Justru, aktivitas fisik yang terkontrol bisa membantu menjaga kebugaran tubuh agar ibadah tetap optimal.

Namun sayangnya, bagi sebagian orang, kekhawatiran kehilangan energi lebih besar dibandingkan kehilangan keberkahan bulan Ramadan.

Yang lebih unik lagi, ada golongan yang lebih takut kehilangan massa otot dibandingkan kehilangan kesempatan meningkatkan ibadah. Mereka gelisah bukan karena kurangnya shalat sunah, tetapi karena penurunan otot bicep dan tricep yang selama ini diperjuangkan di gym center. “Ntar kalau puasa, otot ane kempes dong?” adalah keluhan yang lebih sering terdengar dibandingkan, “Ntar kalau puasa, hati ane lebih bersih nggak ya?” Seakan-akan yang lebih penting dalam hidup bukan bagaimana memperbaiki hubungan dengan Allah Swt, melainkan bagaimana mempertahankan definisi otot di lengan.

Puasa yang seharusnya menjadi momentum refleksi spiritual malah berubah menjadi tantangan fitness tahunan dengan strategi meal plan (rencana makan) yang lebih rumit daripada rencana amalan harian.

Baca Juga: Panduan Persiapan Mondokkan Anak: Membekali Buah Hati untuk Kehidupan di Pesantren

Tak hanya itu, ada juga yang memandang sahur dan berbuka sebagai ajang untuk menyusun diet ekstrem. Mereka mengatur pola makan lebih ketat dari biasanya, bahkan ada yang sengaja melewatkan sahur demi “defisit kalori lebih besar.” Alih-alih meniatkan sahur sebagai bekal ibadah sepanjang hari, mereka justru menjadikannya strategi untuk menurunkan berat badan.

Tidak sedikit pula yang begitu khawatir dengan komposisi makanan saat berbuka sehingga mengabaikan hakikat kesyukuran terhadap nikmat yang diberikan Allah. Makanan yang sederhana dan penuh berkah malah dianggap tidak cukup bernutrisi untuk goals (tujuan) tubuh impian yang seksi dan langsing.

Akhirnya, ibadah puasa yang seharusnya menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah Swt berubah menjadi sekadar program diet intermittent fasting1 dengan label religius.

Baca Juga: Mengikhlaskan Anak Mondok: Langkah-langkah Mempersiapkan Hati Orang Tua

Lebih parah lagi, beberapa orang bahkan merasa Ramadan adalah saat yang tepat untuk mengurangi aktivitas sosial dan ibadah tambahan dengan alasan “hemat tenaga.” Padahal, Ramadan justru menjadi kesempatan emas untuk meningkatkan ibadah, memperbanyak sedekah, dan memperkuat hubungan dengan sesama.

Alih-alih fokus pada shlat tarawih dan tadarus Al-Qur’an, mereka justru lebih sibuk merencanakan kapan cheat day2 yang aman agar berat badan tidak naik drastis setelah lebaran.

Baca Juga: PANDUAN – Bacaan Bilal Shalat Tarawih dan Jawabannya Serta Doa Kamilin

Pada akhirnya, dapat kita ambil kesimpulan bhawa puasa memang bisa berdampak pada kesehatan fisik, tetapi tujuan utamanya tetaplah ibadah. Jika berat badan turun sebagai bonus, maka syukurilah, tetapi jika tidak, itu bukanlah inti dari Ramadan.

Bulan ini seharusnya menjadi momen untuk mengevaluasi diri, bukan hanya sekadar melihat angka di timbangan, melainkan juga angka kebaikan yang bertambah. Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar tubuh ideal, tetapi melewatkan kesempatan emas untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Lagipula, apakah benar lebih menyeramkan kehilangan beberapa kilogram otot dibandingkan kehilangan pahala puasa? Mari kita pikirkan lagi, sebelum semuanya terlambat! []

 

  1. Diet Intermittent Fasting adalah pola makan yang mengatur waktu makan dan puasa dalam periode tertentu, bukan mengatur jenis makanan yang dikonsumsi. Dalam diet ini, seseorang bergantian antara periode makan dan puasa dalam jangka waktu tertentu.

  2. Cheat Day adalah istilah dalam dunia diet dan kebugaran yang merujuk pada satu hari di mana seseorang boleh makan makanan di luar pola diet ketat yang biasanya mereka ikuti.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar