Cyber Pesantren | Dikisahkan dalam salah satu syair Rumi, ia seorang guru sufi asal Konya Turki, ada seorang lelaki yang mengetuk pintu rumah Sang Sufi tersebut.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Rumi, Sang Sufi.
“Makanan,” jawab lelaki itu.
Rumi tersenyum, lalu berkata, “Jika kau lapar, maka kau sedang mengingat Tuhan. Tetapi jika kau kenyang, kau akan melupakannya. Lebih baik kau lapar sedikit lebih lama agar ingatanmu tetap tertuju pada-Nya.”
Lelaki itu pun pergi dengan perut kosong, tetapi hati penuh. Ia belajar bahwa lapar adalah pintu menuju kesadaran, sementara kenyang sering kali menjadi pintu menuju kelalaian.
Ramadan, bulan yang penuh berkah, sesungguhnya adalah bulan untuk mengasah kesadaran ini. Namun, apa yang sering terjadi di sekitar kita? Puasa malah jadi ajang balas dendam saat berbuka, sahur seperti perayaan tahun baru, dan tarawih malah jadi parade setengah hati.
Lapar Itu Cinta
Rumi pernah berkata, “Jangan sampai kenyang menutupi cahayamu.” Dan memang benar, lapar sering kali membuat kita lebih peka. Coba ingat-ingat, kapan terakhir kali kita benar-benar khusyuk berdoa?
Biasanya, justru saat kita dalam keadaan butuh. Nah, lapar di bulan Ramadan adalah latihan agar kita selalu merasa “butuh” kepada Allah Swt.
Di siang hari, ketika kerongkongan sudah terasa kering seperti aspal retak dan perut mulai konser orkestra, tiba-tiba azan Zuhur terdengar lebih syahdu. Bahkan, saat mendengar orang ceramah di masjid, kita lebih fokus dibanding hari-hari biasa. Kenapa? Karena energi kita terpusat untuk bertahan, bukan untuk mencari camilan.
Namun, anehnya, sebagian dari kita malah menjadikan lapar ini sebagai alasan untuk bermalas-malasan. “Aku kan puasa, jadi nggak boleh banyak gerak, nanti haus!” Alhasil, kerja jadi slow motion, ibadah jadi minimalis, dan kasur jadi sahabat paling setia. Padahal, Nabi Saw dan para sahabatnya tetap berperang dalam keadaan puasa, lho! Lah, kita? Jangankan perang, disuruh cuci piring setelah buka aja rasanya seperti ujian keimanan.
Kenyang Itu Lupa
Sekarang kita kaji tentang sisi gelap Ramadan: buka puasa! Di sinilah letak ujian yang sebenarnya. Saat azan Maghrib berkumandang, tangan kita seperti mesin otomatis yang langsung mengarah ke segala jenis makanan. Kurma? Check! Kolak? Check! Gorengan? Double check! Setelah itu, baru sadar bahwa kita justru makan lebih banyak dari hari biasa.
Rumi seolah mengingatkan kita tentang ini. Dalam salah satu syairnya, ia berkata,
Kau membangun benteng di siang hari dengan puasamu,
tetapi menghancurkannya dalam sekejap di waktu berbuka.
Sebuah sindiran halus untuk kita yang puasanya hanya sebatas menahan lapar, tetetapi gagal menahan nafsu makan saat berbuka. Dan jangan lupakan “ritual” setelah makan: ngantuk berat! Tarawih yang seharusnya jadi momen spiritual, malah jadi momen tidur terhormat di masjid. Imam baru baca Al-Fatihah, eh kepala sudah mulai mengangguk-angguk seperti burung pelatuk.
Padahal, tadinya sebelum buka bilang, “Nanti tarawih full ya!” Nyatanya? Rakaat pertama masih semangat, rakaat keempat mulai gelisah, dan di rakaat terakhir kita sudah berdiri dengan mata setengah terpejam, seperti zombie mencari jalan pulang.
Ramadan: Belajar Menjadi Sederhana
Kita sering lupa bahwa Ramadan adalah latihan untuk menyederhanakan hidup, bukan memperumitnya. Lihatlah bagaimana Rasulullah Saw berbuka hanya dengan kurma dan air, lalu melanjutkan ibadah dengan penuh semangat.
Bandingkan dengan kita yang berbuka dengan hidangan sekelas prasmanan hotel bintang lima, lalu akhirnya tepar di sofa sambil menonton sinetron Ramadan yang isinya penuh drama.