Rumi: Saat Perut Kosong, Hati Mabuk Cinta

Anwar Fathoni
Anwar Fathoni

Jika Rumi hidup di zaman sekarang dan melihat orang berbuka dengan lima jenis gorengan, dua porsi nasi, segelas es campur, dan sepiring kolak, mungkin beliau akan berkata:

Kau menahan lapar demi menyucikan jiwa.

Bacaan Lainnya

Tetapi di waktu berbuka, kau justru kembali ke dunia fana.

Lalu, di waktu sahur, skenario lain terjadi. Kebanyakan dari kita bangun dengan setengah sadar, makan dengan mata masih setengah tertutup, dan kembali tidur dengan kecepatan cahaya. Tidak heran, setelah subuh, banyak yang mengalami ‘koma dini’ alias tidur sampai zuhur.

 

Ramadan, Lapar yang Membuat Kita Mabuk Cinta

Pada akhirnya, Ramadan bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi tentang menemukan cinta sejati—cinta kepada Tuhan. Saat perut kosong, kita belajar menghargai rezeki.

Saat haus, kita belajar tentang kesabaran. Dan saat lapar, kita justru lebih bisa merasakan kasih sayang-Nya. Rumi berkata:“Tuhan menciptakan kelaparan agar kau tahu bagaimana rasanya diberi makan.”

Jadi, saat kita berpuasa, jangan hanya mengosongkan perut. Kosongkan juga kesombongan, iri hati, dan ketamakan. Biarkan jiwa kita yang mabuk cinta kepada-Nya.

Dan ingat, Ramadan bukan tentang siapa yang paling banyak berbuka, siapa yang paling cepat tarawih, atau siapa yang paling sering upload status religius. Ramadan adalah tentang siapa yang paling jujur dalam mendekat kepada Tuhan, meski tanpa seorang pun melihat.

Selamat berpuasa! Semoga kita semua bisa menjadi manusia yang lebih baik, bukan hanya selama Ramadan, tetapi seterusnya. Karena, seperti kata Rumi: “Jika setelah Ramadan kau kembali seperti dulu, maka apa gunanya kau berpuasa?”[]

|

Kontributor: Anwar Fathoni, Dosen STIT Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *