Mendadak Religius, Sebulan Saja!
Oleh: Muhammad Arif Luthfi, M.Pd. Ketua LPM STIT Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan
Cyber Pesantren | Ramadan datang membawa suasana baru yang khas: masjid tiba-tiba penuh sesak seperti konser boyband Korea, media sosial berubah jadi kajian daring dengan kutipan ayat dan hadis, serta orang-orang yang biasanya lebih sering pakai kaos bola mendadak tampil syar’i dengan gamis dan kopiah. Sebulan penuh, nuansa religius terasa begitu kental, seakan-akan ada perlombaan siapa yang paling saleh di bulan suci ini.
Fenomena ini menarik, karena seakan-akan ada tombol khusus yang mengaktifkan kesalihan kolektif saat Ramadan tiba. Namun, yang lebih menarik lagi adalah bagaimana setelah Idulfitri, sebagian besar dari kebiasaan baik ini mendadak menghilang, seolah-olah Ramadan adalah satu-satunya bulan di mana Allah Swt “online” dan mencatat kebaikan.
Salah satu fenomena yang paling mencolok saat Ramadan adalah lonjakan jumlah jamaah di masjid. Salat Tarawih berubah menjadi ajang reuni akbar bagi mereka yang selama 11 bulan sebelumnya lebih akrab dengan kasur daripada sajadah. Bahkan, ada yang bercanda bahwa masjid mungkin kaget melihat wajah-wajah baru yang tiba-tiba muncul dengan semangat luar biasa.
Uniknya, seiring mendekati akhir Ramadan, jumlah jamaah perlahan menyusut seperti promo diskon yang masa berlakunya hampir habis. Minggu pertama, saf meluber ke luar. Minggu kedua, mulai berkurang. Minggu ketiga, banyak yang menghilang dengan alasan “lagi sibuk cari baju lebaran.” Malam-malam terakhir Tarawih yang seharusnya semakin ramai justru mulai lengang, dan setelah lebaran, masjid kembali ke suasana seperti semula—sepi, hanya ditemani kipas angin yang setia berputar.
Baca Juga: Kurikulum Berbasis Cinta: Membangun Pendidikan yang Humanis dan Berkarakter
Selain itu, gaya berpakaian pun mengalami perubahan drastis. Orang-orang yang biasanya tampil santai dengan kaos oblong dan celana pendek mendadak berubah 180 derajat. Gamis, koko, hijab panjang, dan kopiah jadi seragam nasional Ramadan.
Pusat perbelanjaan penuh sesak dengan orang-orang yang berburu busana islami, seakan-akan kalau tidak pakai baju baru, puasanya batal. Tapi lucunya, begitu Ramadan berakhir, baju-baju ini juga ikut “pensiun dini” dan kembali masuk lemari. Seakan-akan ada kode berpakaian khusus yang hanya berlaku selama sebulan, lalu setelah itu, semua kembali ke mode default masing-masing.
Baca Juga: Panduan Niat Puasa Ramadhan Sebulan Penuh dalam Madzhab Maliki
Di dunia digital, fenomena “ustaz dadakan” juga bermunculan. Orang-orang yang sebelumnya lebih sering mengunggah foto liburan atau update soal makanan mahal, kini berubah menjadi dai online yang rajin berbagi kutipan-kutipan islami.
Status WhatsApp dipenuhi hadis, Instagram Story penuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan di X (Twitter), orang-orang yang biasanya sibuk debat soal sepak bola karena belum move on Shin Tae-yong di-PHK, politik, ekonomi tiba-tiba beralih membahas makna ikhlas, makna khusyuk.
Sebenarnya, hal tersebut tidak ada yang salah, dengan berbagi kebaikan, justru bagus! Tetapi yang membuatnya lucu adalah betapa drastisnya perubahan ini, dan betapa cepatnya semuanya kembali ke konten lama setelah Ramadan berakhir. Pas pada tanggal 1 Syawal, menucapkan: “Taqabbalallahu minna wa minkum.” Kemudian tanggal 2 Syawal, mengucapkan: “Balik joget lagi, bestie!” Seakan-akan semangat berbagi ilmu agama ini hanya punya kontrak eksklusif selama 30 hari.
Baca Juga: Ziarah Kubur: Dasar, Hukum, dan Adab untuk Perempuan
Pertanyaannya, mengapa kebiasaan baik ini hanya bertahan sebulan? Apakah Allah Swt hanya “online” di bulan Ramadan, lalu “offline” begitu Idulfitri tiba? Jika memang kita bisa rajin ke masjid, berpakaian lebih sopan, dan lebih banyak berbagi pesan positif selama Ramadan, bukankah itu berarti kita sebenarnya mampu? Mengapa sulit untuk melanjutkan kebiasaan ini di bulan-bulan berikutnya? Apakah Ramadan hanya sekadar ajang tahunan untuk menunjukkan kesalihan sesaat?
1 Komentar