Ketika Keledai Luqman Mengajarkan Makna Ramadan

Surismi Nada Puspa _ Ka. Prodi PGMI STIT MI
Surismi Nada Puspa _ Ka. Prodi PGMI STIT MI

 

Oleh: Surismi Nada Puspa, M.Pd.I _ Ka. Prodi PGMI STIT MI

Bacaan Lainnya

Cyber Pesantren | Suatu hari, Luqman Al-Hakim dan anaknya pergi ke pasar untuk menjual keledai mereka. Dalam perjalanan, mereka menghadapi berbagai komentar dari orang-orang yang mereka temui. Untuk keberangkatan ke pasar, mereka berdua sepakat akan menunggangi keledai yang akan mereka jual, Pertama, mereka sepakat Luqman Menunggangi Keledai, Anaknya Berjalan”.

Ketika melewati sebuah perkampungan, mereka mendapati sekelompok orang, dan seseorang berkata, “Lihatlah orang tua ini! Dia enak-enakan naik keledai sementara anaknya yang masih kecil dibiarkan berjalan kaki, nggak kasihan apa!” Mendengar itu, Luqman pun turun dan menyuruh anaknya naik keledai.

Kedua, akhirnya mereka putuskan, Anaknya Menunggangi Keledai, Luqman Berjalan”. Setelah berjalan beberapa saat, mereka pun bertemu orang lain yang berkata, “Sungguh anak yang tidak tahu sopan santun! Dia naik keledai sementara ayahnya yang sudah tua dibiarkan berjalan kaki.Dasar anak nggak tau diuntung.Maka, Luqman pun naik keledai bersama anaknya.

Ketiga, akhirnya mereka memutuskan, Keduanya Menunggangi Keledai”. Beberapa saat kemudian, mereka bertemu dengan kelompok lain yang berkata, Kasihan keledai itu! Bebannya terlalu berat, dua orang menungganginya sekaligus. Betapa kejamnya mereka, tidak berperikehewanan! Maka, Luqman dan anaknya turun dan berjalan kaki sambil menuntun keledai.

Akhirnya mereka memutuskan, Keduanya Berjalan Kaki, Keledai Tak Ditunggangi”. Setelah itu, mereka bertemu lagi dengan sekelompok orang yang berokmentar,
Betapa bodohnya mereka! Mereka memiliki keledai tetapi tidak ditunggangi. Untuk apa punya keledai kalau tidak dimanfaatkan?

Kemudian mereka berdua memutuskan untuk istirahat, sambal merenungkan kejadian di perjalanan yang mereka alami tadi. Ketika Luqman menunggangi keledai dan anaknya berjalan, orang-orang mengkritiknya sebagai ayah yang tidak penyayang. Saat mereka bertukar posisi, anaknya yang dikritik sebagai anak durhaka. Ketika mereka berdua menunggangi keledai, orang-orang menganggap mereka kejam terhadap hewan, dan saat mereka berjalan kaki sambil menuntun keledai, mereka dianggap bodoh karena tidak memanfaatkan apa yang mereka miliki.

Pada akhirnya, Luqman menasihati anaknya, “Wahai anakku, dalam hidup ini, tak peduli apa pun yang kau lakukan, akan selalu ada orang yang mengkritik. Janganlah sibuk mencari keridhaan manusia, karena itu mustahil. Yang terpenting adalah melakukan apa yang benar dan diridai oleh Tuhan.”

Kisah ini memiliki relevansi yang kuat dengan makna Ramadan. Bulan suci ini bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang memperbaiki diri dan memperkuat hubungan dengan Allah Swt. Sama seperti Luqman dan anaknya yang menghadapi berbagai komentar, dalam menjalani Ramadan pun sering kali kita menemui berbagai pendapat dari orang lain tentang cara kita beribadah.

Ada yang mengkritik cara kita berpuasa, cara kita berbagi, atau bahkan cara kita berdoa. Namun, seperti pelajaran dari Luqman, kita harus tetap teguh pada prinsip yang benar dan tidak terombang-ambing oleh penilaian manusia. Ramadan adalah waktu untuk introspeksi, bukan untuk mencari validasi sosial.

 

Puasa sebagai Latihan Kemandirian Spiritual

Puasa mengajarkan kita untuk tidak selalu bergantung pada penilaian manusia. Dalam beribadah, niat yang tulus jauh lebih penting daripada sekadar penampilan luar. Orang yang berpuasa bisa saja mendapatkan kritik dari lingkungan sekitarnya—ada yang menganggapnya terlalu fanatik, ada yang menganggapnya kurang bersemangat, dan ada pula yang mempertanyakan keikhlasannya.

Namun, seperti yang diajarkan dalam kisah Luqman, kita tidak perlu terpengaruh oleh pendapat orang lain. Yang terpenting adalah keyakinan kita bahwa puasa ini adalah ibadah untuk mencari rida Allah Swt, bukan sekadar untuk mendapatkan pengakuan dari manusia.

Di zaman modern, media sosial menjadi ruang yang sering kali memperkuat fenomena ini. Banyak orang membagikan ibadah mereka di dunia maya, dari tadarus Al-Qur’an hingga berbagi momen berbuka puasa. Ada yang mengapresiasi, tetapi ada juga yang mengkritik.

Dalam situasi seperti ini, pelajaran dari Luqman menjadi relevan—tidak semua orang akan setuju dengan apa yang kita lakukan, dan itu tidak masalah. Ramadan mengajarkan kita untuk lebih fokus pada hubungan kita dengan Allah Swt, bukan pada validasi sosial.

 

Kesederhanaan dalam Ramadan dan Nilai Keikhlasan

Kisah Luqman juga mengingatkan kita akan pentingnya kesederhanaan dan keseimbangan. Dalam kisah tersebut, Luqman dan anaknya menghadapi berbagai komentar tentang cara mereka memperlakukan keledai—ada yang menganggap mereka terlalu keras, ada yang menganggap mereka terlalu lemah, dan ada yang menganggap mereka bodoh.

Hal ini mirip dengan bagaimana sebagian orang memandang ibadah Ramadan. Ada yang berpuasa dengan penuh semangat, ada yang melakukannya dengan sederhana, dan ada pula yang merasa kesulitan.

Ramadan bukan tentang siapa yang paling banyak beribadah, tetapi tentang bagaimana kita melakukannya dengan ikhlas dan penuh kesadaran. Tidak perlu berlebihan dalam berbuka dengan makanan mewah jika itu hanya untuk memenuhi gengsi sosial.

Tidak perlu membandingkan ibadah kita dengan orang lain, karena setiap orang memiliki jalannya sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah. Yang terpenting adalah keikhlasan dalam setiap langkah yang kita ambil.

 

Mengabaikan Kritik yang Tidak Membangun

Pelajaran lain yang bisa kita ambil dari kisah Luqman adalah bagaimana ia dan anaknya menghadapi kritik dengan bijaksana.

Ramadan sering kali menjadi bulan di mana orang lebih sadar akan ibadahnya, tetapi juga menjadi bulan di mana kritik terhadap sesama muslim semakin sering muncul. Ada yang mengomentari cara orang lain berpakaian, cara mereka beribadah, atau bahkan cara mereka berbagi rezeki.

Namun, seperti dalam kisah Luqman, tidak mungkin kita bisa menyenangkan semua orang. Jika kita berpuasa dengan sungguh-sungguh, mungkin ada yang menganggap kita terlalu serius. Jika kita berbuka dengan makanan sederhana, ada yang menganggap kita kurang bersyukur.

Jika kita berbagi di media sosial, ada yang menganggap kita pamer. Oleh karena itu, Ramadan mengajarkan kita untuk tidak terlalu memikirkan pendapat manusia, tetapi lebih berfokus pada apa yang benar di mata Allah Swt.

 

Ramadan sebagai Waktu untuk Memperkuat Keyakinan

Ramadan adalah waktu untuk memperkuat hubungan kita dengan Allah Swt, bukan untuk membuktikan sesuatu kepada orang lain. Kisah Luqman dan anaknya mengajarkan bahwa tidak semua orang akan setuju dengan apa yang kita lakukan, dan itu tidak perlu menjadi beban bagi kita. Puasa adalah latihan kesabaran, keikhlasan, dan kemandirian spiritual—sesuatu yang tidak bisa diukur oleh komentar orang lain.

Di bulan suci ini, kita diajak untuk lebih fokus pada perjalanan spiritual kita sendiri. Tidak perlu membandingkan ibadah kita dengan orang lain atau merasa terbebani oleh penilaian orang lain. Yang terpenting adalah bahwa kita menjalani Ramadan dengan niat yang benar, hati yang bersih, dan keyakinan yang kokoh bahwa semua yang kita lakukan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Sebagaimana Luqman mengajarkan anaknya untuk tidak terombang-ambing oleh pendapat manusia, Ramadan mengajarkan kita untuk tetap teguh pada prinsip kebaikan dan keikhlasan. Sebab, pada akhirnya, yang terpenting bukanlah bagaimana orang lain melihat kita, tetapi bagaimana kita dipandang oleh Allah Swt.[]

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar