Oleh: Dethree Jayadi, Kepala Madrasah Aliyah Makrifatul Ilmi
Cyber Pesantren | Ramadan adalah bulan penuh berkah, di mana amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Namun, ada satu “ibadah” yang paling menarik dan sering disalahgunakan: tidur! Kita sering mendengar hadis yang menyebutkan bahwa:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.” Dengan dalil tersebut, banyak orang menjadikannya sebagai “lisensi resmi” untuk bermalas-malasan sepanjang hari. Tetapi benarkah tidur itu benar-benar ibadah? Atau jangan-jangan, kita hanya mencari alasan untuk menghabiskan Ramadan di kasur?
Tidur: Ibadah atau Jalan Pintas Menghindari Lapar?
Bagi sebagian orang, tidur di bulan Ramadan adalah strategi bertahan hidup. Setelah sahur, langsung kembali ke kasur, lalu bangun-bangun sudah azan Maghrib. “Masyaallah, puasanya ringan banget hari ini!” katanya bangga, kalua kata Rhoma Irama, “Terlalu.”.
Seakan-akan tidur adalah tombol fast forward menuju berbuka. Namun, apakah ini esensi sebenarnya dari hadis tentang tidur sebagai ibadah? Tidak juga. Yang dimaksud adalah tidur yang membawa manfaat, bukan tidur yang membuat kita berubah menjadi koala Ramadan—karena koala bisa tidur 20 jam sehari!
Jika tidur kita membuat tubuh lebih segar untuk beribadah, bekerja, atau melakukan kebaikan, maka itu bernilai ibadah. Tetapi kalau tidurnya hanya untuk kabur dari rasa lapar dan haus? Itu namanya puasa autopilot.
Islam tidak mengajarkan kita untuk menjadikan Ramadan sebagai bulan “hibernasi massal.” Bayangkan kalau semua orang tidur seharian: toko tutup, kantor sepi, jalanan lengang. Ramadan akan berubah menjadi festival kasur nasional. Jangan sampai kita menjadi kaum yang lebih banyak rebahannya daripada ibadahnya.
Tidur yang Berpahala vs. Tidur yang Mengundang Masalah
Agar tidur benar-benar bernilai ibadah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, niat yang benar. Jika tidur diniatkan untuk menjaga kesehatan agar bisa lebih produktif dalam beribadah dan bekerja, maka tidurnya berpahala. Tetapi kalau niatnya hanya untuk “menyiasati” rasa lapar, jelas itu hanya modus belaka.
Kedua, tidak berlebihan. Tidur secukupnya memang baik, tetapi kalau dari habis sahur sampai Maghrib, itu bukan ibadah, tetapi hampir koma. Rasulullah Saw sendiri hanya tidur seperlunya dan mengisi hari-harinya dengan aktivitas yang bermanfaat.
Ketiga, menjaga kualitas tidur, bukan sekadar kuantitas. Lebih baik tidur sebentar tetapi berkualitas daripada tidur lama tetapi bangun malah lemas. Tidur siang 15-30 menit (power nap) bisa membuat tubuh lebih segar dan siap beraktivitas, dibandingkan tidur enam jam lalu bangun dalam keadaan bingung ini pagi atau sore. Keempat, tidak melupakan kewajiban. Jangan sampai dalih “Tidur adalah ibadah” membuat kita lupa salat, lupa kerja, atau bahkan lupa mandi (ini bahaya!). Tidur boleh, tapi tanggung jawab tetap nomor satu.
Tidur dan Produktivitas: Menjaga Keseimbangan di Bulan Puasa
Saat berpuasa, tubuh memang mengalami perubahan ritme. Energi terbatas, kadar gula darah turun, dan rasa kantuk datang lebih cepat. Tapi ini bukan alasan untuk jadi zombie Ramadan.
Justru, kita perlu mengatur pola tidur agar tetap produktif. Salah satu kesalahan terbesar adalah menjadi kelelawar Ramadan—siangnya tidur terus, tetapi malamnya begadang sampai sahur. Ramadan bukan bulan untuk mengasah skill begadang. Sebaiknya tidur lebih awal dan bangun sebelum sahur agar bisa menunaikan salat malam atau membaca Al-Qur’an.
Selain itu, manfaatkan power nap untuk meningkatkan fokus dan energi tanpa mengganggu produktivitas. Rasulullah Saw sendiri sering tidur siang sebentar untuk mengisi ulang energi. Hindari juga kebiasaan tidur setelah sahur, karena makanan belum dicerna dengan baik dan bisa menyebabkan perut tidak nyaman.
Lebih baik menunggu sebentar, salat Subuh dulu, lalu jika masih mengantuk, tidur sejenak. Tetap aktif di siang hari juga penting. Jika kita hanya tidur sepanjang hari, tubuh justru akan semakin lemas. Bergerak sedikit, bekerja, atau melakukan kegiatan ringan bisa membantu tubuh tetap bertenaga sampai waktu berbuka.
Jika tidak hati-hati, tidur bisa menjadi “senjata makan tuan.” Misalnya, tertidur saat bekerja dan dimarahi bos, lalu berdalih, “Saya bukan malas, Pak, cuma ibadah.” Atau ketiduran hingga melewatkan waktu salat, lalu menyesal karena bangun-bangun Zuhur sudah habis.
Bahkan, ada juga yang terlalu banyak tidur hingga berbuka pun tidak terasa nikmat. Jangan sampai Ramadan yang seharusnya menjadi ajang memperbanyak ibadah malah berubah menjadi festival mimpi. Kalau terlalu banyak tidur, nanti amalan kita selama bulan suci hanya berupa “rekor tidur terlama di Ramadan.”
Tidurlah dengan Cerdas, Bukan dengan Modus
Tidur memang bisa menjadi ibadah, tetapi bukan berarti menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Tidur yang berpahala adalah tidur yang memberi manfaat—membantu kita lebih segar, lebih produktif, dan lebih siap menjalani ibadah di bulan Ramadan.
Jangan sampai kita menjadi “kaum rebahan Ramadan” yang menjadikan tidur sebagai jalan pintas untuk melewati waktu puasa. Sebaliknya, mari jadikan Ramadan sebagai bulan yang tetap produktif, penuh ibadah, dan tentu saja, penuh kesadaran bahwa tidur yang benar adalah tidur yang memberi manfaat, bukan sekadar pelarian dari lapar.[]