Ditulis Oleh : KH. Khatibul Umam, SQ*
“Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti akan kamu lihat (gunung tersebut) tunduk terpecah-belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. al-Hasyr 21)”
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah SWT menyifati al-Qur’an sebagai kitab suci yang memiliki kekuatan dahsyat, mampu me-mecah kerasnya cadas pegunungan hingga berkeping-keping. Firman ini adalah ungkapan metamorfosis agar manusia mau mengeksplorasi alam pikirnya, mengembangkan cakrawala angan dan logikanya.
Bagi masyarakat Arab, batu cadas pegunungan merupakan simbol kekuatan nyata yang terhampar di depan mata. Berbagai gunung yang tersebar di dataran Arab mewakili keangkuhan, kekerasan, kekokohan dan kekuatan yang besar. Hal inilah yang difahami dan diyakini masyarakat Arab terhadap gunung bebatuan yang terhampar di hadapannya.
Maka dengan ungkapan bahwa keras dan kuatnya batu cadas pegunungan bisa runtuh tersungkur oleh al-Qur’an mereka pun terhenyak. Sepenggengal ayat ini benar-benar memaksa masyarakat Arab berfikir serius untuk memahaminya. Bagaimana mungkin batu cadas yang demikian keras, hancur oleh al-Qur’an yang sarat dengan kelembutan?
Dalam hal ini, sejarah telah mencatat satu peristiwa besar. Umar bin Khattab jatuh tersungkur oleh sentuhan lembut bacaan nada-nada al-Qur’an. Umar ialah seorang tokoh kafir Quraisy yang sangat dikagumi, sekaligus ditakuti oleh kawan maupun lawan. Umar bin Khattab dikenal semua pihak sebagai tokoh yang keras, tegas, tak kenal kompromi bahkan disebut memiliki hati sekeras batu cadas, baik kaum muslimin maupun kaum kafir Quraisy. Umar laksana gunung yang berjalan dan sanggup melibas apapun penghalang di hadapannya. Namun ketika kemudian Umar bin Khattab harus tersungkur dan bahkan memeluk Islam, kenyataan ini mengantar mereka mulai bisa memahami ungkapan al-Qur’an tersebut.
Ungkapan al-Qur’an di atas pun mengajarkan agar tidak memandang sebelah mata terhadap sesuatu yang terlihat kecil dan lemah. Boleh jadi yang besar, kuat dan kokoh, akan hancur oleh yang kecil dan dianggap lemah. Demikianlah Allah SWT menetapkan sunnah-Nya.
Kehidupan memang butuh keseimbangan. Di tengah budaya yang kasar dan keras, al-Qur’an mengoreksi tata-kehidupan yang ada dengan kelembutan. Keberhasilan Muhammad SAW membangun masyarakat Arab ditentukan oleh sikap lemah lembutnya dalam menghadapi perangai yang keras dan kasar sehingga terbentuk masyarakat yang berbudaya (tamaddun).
Kelembutan inilah salah satu unsur seni yang ditawarkan al-Qur’an untuk mengisi ruang kosong dalam kalbu manusia. Di samping itu, keindahan juga menjadi hal penting yang “dimainkan” al-Qur’an. Al-Qur’an bisa menjadi pelipur hati yang sedang kalut. Nilai seni yang ditawarkan al-Qur’an memang lebih bersifat maknawi. Ini bukan berarti penikmat al-Qur’an harus mengerti makna dari kata-kata yang termaktub di dalamnya. Namun keindahan al-Qur’an baru terasa istimewa jika melibatkan hati nurani.
Keindahan al-Qur’an berawal dari keserasian bahasanya, pemilihan kata demi kata, penyusunan kalimat demi kalimat, juga kedalaman makna yang terkandung sarat dengan keindahan. Pesona al-Qur’an berikutnya justru terletak pada bacaannya yang memiliki kaidah khusus, satu kaidah yang apabila pembaca mengikutinya dengan benar, maka mampu menuntun jiwa manusia sampai pada Tuhannya.
Inilah puncak dari nilai seni yang ada dimuka bumi, yakni naiknya jiwa seorang hamba ke hadirat Tuhan Yang Maha-Indah. Hal demikian baru bisa dilakukan, ketika ada persesuaian antara makhluk dengan Khaliq-nya.
Uniknya, al-Qur’an memiliki sisi yang demikian justru pada unsur bacaannya, bukan unsur maknanya. Bacaan inilah yang langsung diajarkan dan dicontoh-kan oleh Allah kepada manusia. “Wa rattalnâhu tartîlan.” “Aku telah bacakan al-Qur’an kepadanya dengan bacaan yang indah.” Karena itu, “wa rattilil Qur’âna tartîlâ.” “Bacalah al-Qur’an dengan bacaan yang indah sebagaimana yang telah aku ajarkan kepada kalian.” Yakni, “faidzâ qara’nâhu fat-tabi’ qur’ânah.” “Tatkala sudah selesai aku bacakan, maka ikutilah bacaan tersebut.”
Bacaan al-Qur’an yang berkaidah pada hakikatnya laksana psikolog yang sedang melakukan terapi batin yang berlangsung secara terus-menerus melatih dan menggembleng hati agar menyadari pentingnya menjaga ketertiban, keteraturan dan merasakan kehalusan budi.
Maka ketika kita membaca al-Qur’an dengan cara yang sama, yakni men-tajwid-kan huruf-hurufnya, tepat cara berhenti (waqaf) dan memulai (ibtida’)-nya, di sinilah kita akan bertemu Tuhan. Inilah tujuan akhir seniman, yakni bertemu dengan yang Maha Berkesenian.
source: nusantaramengaji[dot]com
Leave a Reply