Saat saya masih nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, tahun 2001-2004 olahraga yang paling saya sukai adalah sepak bola. Bukan karena tidak ada fasilitas olah raga lain, tapi olah raga inilah yang paling banyak digemari oleh santri saat itu, bahkan hingga saat ini.
Setiap hari semua santri berbicara tentang sepak bola. Utamanya pada saat pagi hari ketika pertandingan bola terjadi malam harinya. percakapannya ya seputar berapa skornya, siapa yang memasukkan bola, bagaimana pertandingannya yang ujung-ujungnya memberikan pujian kepada beberapa pemain.
Saya awalnya tidak suka bola, sama sekali. Jangankan bermain, bahkan hanya menonton tayangannya pun saya tidak mau. Saat pertama masuk menjadi santri, ketika semua santri menonton tayangan sepak bola, saya lebih baik memilih tidur atau beli camilan di kantin pesantren. Di Tebuireng memang setiap malam Jum’at pengajian diliburkan, dan disediakan televisi di tengah lapangan sebagai sarana hiburan santri.
Ketidaksukaan saya itu luntur ketika melihat, mendengar dan terus dijejali dengan sepak bola setiap harinya. Akhirnya mencoba ikut menonton santri bermain di lapangan di belakang komplek Pesantren, ikut bermain menggantikan teman, dan pada akhirnya menekuninya.
Sampai saya akhirnya punya kesimpulan, bahwa sesuatu yang awalnya menjemukan, akan disukai pada akhirnya apabila terus-terusan dilihat dan didengar. Ini pulalah yang digunakan oleh berbagai kalangan politikus saat menjelang pilkada untuk menarik simpati masyarakat dengan memajang poster mereka bahkan setahun atau dua tahun sebelum pilihan berlangsung.
Uniknya, sepak bola itu dimanapun berada peraturannya tetap sama. Perbedaannya adalah seni bermainnya. Ya, sepak bola adalah seni bermain bola. Jangan kira santri yang tiap hari memegang pena untuk memaknai kitab kuningnya, menghafal nadzhom alfiyah, menghafal Al-Qur’an itu tidak bisa mengolah si kulit bundar. Bahkan, skill santri tidak jauh beda dengan skill pemain kelas dunia. Ya, minimal kelas dunia pesantren.
Ada teman saya itu seorang penyerang, apabila dia berlari membawa bola tidak ada satupun yang dapat mengejarnya. Para santri menyebutnya napas kuda. Ada teman saya juga penyerang, tidak kuat lari tapi bisa menggiring bola luar biasa dan apabila tendangan bebas di dekat garis gawang, hampir setiap penjaga gawang tidak ada yang dapat mengantisipasinya. Ya, sepak bola memang soal seni. Kadang tidak penting bagaimana gaya, seni dan caranya bermain, yang penting goalnya.
Tapi yang tidak kalah uniknya, tradisi sepak bola pesantren tidak lepas dari keterlibatan doa di dalamnya. Apalagi dalam pertandingan adu gengsi antar sekolah utamanya antar lantai dan komplek. Ada yang minta doa dari kyai, ada yang diberi minuman khusus oleh pembina lantai mereka, ada yang kakinya yang diberi doa.
Ya, alhasil saat pertandingan berlangsung itu suasananya menjadi sangat berbeda. Ada yang merasa kakinya berat saat berlari. Ada yang menendang tapi tidak pernah goal, saat bola meluncur ke arah gawang entah kenapa bola tiba-tiba berbelok dengan sendirinya. Ada penjaga gawang yang tidak kelihatan bola saat bola bersarang di jala gawangnya yang entah apakah itu saking keras tendangan atau memang mata si penjaga gawang yang disulap tidak kelihatan.
Sepak bola pesantren dengan ceritanya sendiri. Punya kesan dan kenangan sendiri. Sebagai olahraga sepak bola bagi santri adalah hiburan, tapi sebagai sebuah pertunjukan bagi mereka adalah sebuah kehormatan diri. Tidak jarang ditemui santri menangis saat ditarik keluar lapangan karena cidera, atau tim mereka kalah. Ya, di sinilah soal penghargaan diajarkan.
Namun terlepas dari cerita di atas, pesantren adalah sebuah lembaga pendidik, bukan hanya pendidik agama, tapi juga pendidik moral. Sepak bola di tengah kekeruhan politik saat ini tetap dipertandingkan, baik itu liga-liga nasional, regional sampai pada daerah-daerah termasuk juga pesantren.
Ya, saya mencoba bermain bola dengan santri hingga saat ini, bukan hanya soal kepandaian mengolah bola, mendrible atau jugling saja, tapi saya memperlihatkan dunia kepada mereka. Saya menunjukkan sikap kepada mereka. Saya menunjukkan sebuah sportifitas sesungguhnya kepada mereka. Ya, saya mulai dari pesantren.
Leave a Reply