Cyber Pesantren | Salah satu kelompok yang diberikan keringanan (rukhshah) oleh syariat untuk tidak berpuasa saat Ramadan adalah musafir, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (dan tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Namun, bolehnya tidak berpuasa bagi musafir memiliki beberapa syarat, di antaranya:
- Perjalanan bukan untuk maksiat.
- Jarak perjalanan mencapai batas safar jauh (safar thawil), yaitu sekitar 80-90 km atau lebih.
- Perjalanan dimulai sebelum fajar.
- Tidak ada niat untuk menetap lebih dari empat hari di satu tempat.
Lalu, bagaimana dengan sopir angkutan jarak jauh? Apakah mereka termasuk musafir yang diperbolehkan tidak berpuasa saat Ramadan?
Pandangan Fikih tentang Sopir dan Puasa Ramadan
Dalam fikih mazhab Syafi’i, musafir boleh tidak berpuasa, tetapi ada pengecualian bagi musafir yang terus-menerus berada dalam perjalanan tanpa ada kesempatan untuk bermukim di suatu tempat. Orang dalam kondisi ini disebut mudimus safar (orang yang terus-menerus bepergian).
Para ulama berpendapat bahwa mudimus safar tetap wajib berpuasa, karena jika ia tidak berpuasa, maka ia tidak akan memiliki waktu untuk mengqadha puasanya di hari lain. Sebab, seluruh hidupnya selalu dalam perjalanan tanpa ada waktu untuk bermukim.
Baca Juga: Mendadak Religius, Sebulan Saja!
Namun, jika seorang mudimus safar berniat mengqadha puasanya di kemudian hari meski masih dalam perjalanan, maka ia boleh tidak berpuasa di bulan Ramadan.
Pendapat ini berbeda dengan pandangan Imam Ibnu Hajar, yang menyatakan bahwa musafir boleh tidak berpuasa secara mutlak, termasuk mudimus safar.
Pendapat ini dikutip dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:
ويستثنى من جواز الفطر بالسفر مديم السفر فلا يباح له الفطر لأنه يؤدي إلى إسقاط الوجوب بالكلية إلا أن يقصد قضاء في أيام أخر في سفره ومثله من علم موته عقب العيد فيجب عليه الصوم إن كان قادرا فجواز الفطر للمسافر إنما هو فيمن يرجو إقامة يقضي فيها وهذا هو ما جرى عليه السبكي واستظهره في النهاية والذي استوجهه في التحفة خلافه وهو أنه يباح له الفطر مطلقا.
“Dikecualikan dari bolehnya membatalkan puasa bagi musafir adalah orang yang selamanya berada dalam keadaan bepergian, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menggugurkan kewajiban puasa secara keseluruhan, kecuali ia berencana untuk mengqadha puasanya sewaktu perjalanan di kemudian hari. Pendapat ini diusung oleh Imam As-Subki dan didukung oleh Imam ar-Ramli. Sedangkan Imam Ibnu Hajar berpendapat sebaliknya, bahwa musafir tetap boleh tidak berpuasa secara mutlak.”
Penerapan Hukum bagi Sopir Angkutan Jarak Jauh
Dari penjelasan di atas, status hukum puasa bagi sopir angkutan jarak jauh tergantung pada pola perjalanannya:
- Jika sopir masih memiliki waktu untuk bermukim beberapa hari setelah Ramadan, maka ia boleh tidak berpuasa saat di perjalanan, karena masih ada kesempatan untuk mengqadha puasa di kemudian hari.
- Jika sopir terus-menerus berada di perjalanan tanpa kesempatan untuk bermukim, namun ia berniat mengqadha puasa meski masih dalam perjalanan, maka ia juga boleh tidak berpuasa.
- Jika sopir selalu dalam perjalanan dan tidak mungkin mengqadha puasanya, maka ia tetap wajib berpuasa saat Ramadan kecuali jika mengikuti pendapat Imam Ibnu Hajar yang membolehkannya tidak berpuasa.
Dalam praktiknya, sebagian besar sopir angkutan jarak jauh masih memiliki waktu untuk bermukim, baik di rumah atau di tempat transit. Oleh karena itu, mereka boleh tidak berpuasa selama Ramadan, asalkan mereka bersungguh-sungguh untuk menggantinya di hari lain saat tidak sedang bepergian.
Baca Juga: KOPI RAMADAN: Survival Mode On
Namun, jika seorang sopir merasa bahwa jika ia tidak berpuasa di Ramadan, maka kemungkinan besar ia juga tidak akan bisa mengqadha di kemudian hari (karena malas, lupa, atau alasan lain), maka dalam kondisi ini lebih baik ia tetap berpuasa saat Ramadan agar kewajiban puasanya tidak terabaikan.
Musafir vs Sopir dalam Tinjauan Fikih Islam
Dalam Islam, terdapat konsep musafir yang mendapatkan keringanan (rukhshah) dalam ibadah. Namun, bagaimana dengan seorang sopir yang setiap hari bekerja dalam perjalanan jauh? Apakah statusnya sama dengan musafir atau berbeda? Berikut adalah perbandingan antara musafir dan sopir dalam Islam:
1. Definisi dan Status
Aspek | Musafir | Sopir |
---|---|---|
Definisi | Orang yang bepergian jauh (≥ 80-90 km) dari tempat tinggalnya untuk sementara waktu. | Orang yang bekerja sebagai pengemudi dan sering melakukan perjalanan jauh sebagai rutinitas. |
Durasi Perjalanan | Bersifat sementara dan akan kembali setelah urusan selesai. | Perjalanan rutin dan terus-menerus dalam jangka panjang. |
Tempat Tinggal | Memiliki tempat tinggal tetap dan hanya meninggalkannya sesekali. | Memiliki tempat tinggal tetap, tetapi sering berada di perjalanan. |
2. Hukum Safar dan Keringanan dalam Ibadah
Aspek | Musafir | Sopir |
---|---|---|
Shalat Qashar (meringkas shalat 4 rakaat menjadi 2) | Boleh selama statusnya masih musafir dan belum berniat tinggal lebih dari 4 hari di suatu tempat. | Jika dalam perjalanan jauh dan belum menetap di suatu tempat, boleh. Namun, jika perjalanan sudah menjadi rutinitas, sebagian ulama menyatakan harus shalat seperti mukim. |
Shalat Jama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) | Boleh dalam kondisi tertentu, terutama saat mengalami kesulitan dalam perjalanan. | Boleh dalam perjalanan yang panjang dan melelahkan, tetapi jika sudah terbiasa dan mampu shalat tepat waktu, maka lebih utama shalat secara normal. |
Puasa Ramadan | Diperbolehkan untuk berbuka dan menggantinya di hari lain jika perjalanan memberatkan. | Jika perjalanan jauh dan berat, boleh berbuka. Namun, jika sudah terbiasa dan tidak memberatkan, lebih utama tetap berpuasa. |
Doa Mustajab | Doa musafir dikabulkan oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ. | Jika sopir dalam perjalanan jauh, ia juga bisa mendapatkan keutamaan doa musafir. |
3. Pandangan Ulama tentang Sopir dan Hukum Safar
- Mazhab Syafi’i dan Maliki: Sopir yang melakukan perjalanan rutin dan sudah terbiasa tidak lagi dianggap musafir, sehingga tetap harus melaksanakan ibadah seperti orang mukim.
- Mazhab Hanafi dan Hanbali: Jika seorang sopir berada di luar kota asalnya dalam perjalanan jauh, ia tetap dianggap musafir dan boleh mengambil rukhshah seperti qashar shalat.
Baca Juga: Puasa atau Diet? Motivasi yang Tertukar
Kesimpulan
- Musafir memiliki hak penuh untuk mengambil rukhshah (keringanan) dalam shalat dan puasa selama memenuhi syarat-syarat safar.
- Sopir, meskipun sering bepergian, tetap memiliki tempat tinggal tetap dan pekerjaannya adalah perjalanan. Jika ia terus-menerus dalam perjalanan, ia tidak lagi dianggap musafir dalam kondisi biasa. Namun, jika bepergian jauh ke daerah baru, ia bisa dihukumi sebagai musafir dan boleh mengambil keringanan ibadah.
Dengan demikian, status musafir dan sopir tidak sepenuhnya sama, tetapi dalam kondisi tertentu, sopir juga bisa mendapatkan keringanan safar jika memenuhi syarat. Wallahu a’lam.
|
Artikel ditulis oleh, Agus Nugroho Redaktur PPMI ONLINE
2 Komentar