Puasa Cuma Nahan Lapar? Kata Rumi, itu Level Hewan!

Muhammad Arif Luthfi
Muhammad Arif Luthfi

 

Cyber Pesantren | Setiap kali Ramadan tiba, kebanyakan dari kita langsung fokus pada dua hal, yaitu: sahur dan berbuka. Dari bangun setengah sadar demi sesuap nasi, hingga menyusun daftar menu berbuka yang lebih panjang dari daftar tugas pekerjaan.

Bacaan Lainnya

Tetapi, apakah puasa hanya soal menahan lapar dan haus? Kalau iya, maka unta di padang pasir pun lebih jago puasa dari kita!

Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar, pernah ditanya oleh muridnya, “Guru, apakah yang paling penting dalam berpuasa?” Rumi tersenyum dan menjawab dengan bijak, “Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus. Jika hanya itu, maka hewan pun bisa melakukannya. Yang lebih penting adalah menahan hawa nafsu dan menjauhkan diri dari keburukan.”

Nah, kalau dipikir-pikir, ini tamparan halus buat kita yang selama Ramadan cuma sibuk menghitung jam menuju magrib.

 

Lebih dari Sekadar Menahan Lapar

Sering kali kita merasa menjadi manusia paling suci ketika berpuasa. Siang hari kita menahan lapar dan haus, lalu merasa berhak memasang wajah menderita sambil mengeluh, “Aduh, puasa kali ini berat banget!” Padahal, ujian puasa sesungguhnya bukan hanya perut yang keroncongan, tetapi juga bagaimana kita mengendalikan diri.

Pernah nggak sih, kita puasa tetapi tetap marah-marah di jalan karena macet? Atau saat antre beli takjil, malah ngomel karena orang di depan kita terlalu lama memilih gorengan?

Rumi mengingatkan bahwa puasa sejati adalah menahan diri dari segala keburukan. Jadi, kalau puasa tetapi masih hobi gibah, nyinyir di media sosial, atau marah-marah gara-gara sepotong risol, ya berarti masih belum lulus puasa level Rumi!

 

Puasa Lidah, Mata, dan Hati

Rumi juga menambahkan, “Jangan hanya menutup mulut dari makanan, tetapi tutuplah juga lidahmu dari perkataan buruk, matamu dari melihat yang haram, dan hatimu dari iri serta dengki.” Wah, ini PR besar buat kita semua!

Coba ingat-ingat, berapa kali kita puasa sambil tetap bergosip ria? “Eh, si G makin gendut ya? Padahal udah puasa!” atau “Si T makin tajir aja, pasti ada main belakang nih!” Kalau lidah kita masih sibuk menilai orang lain, lalu apa bedanya puasa kita dengan sekadar diet?

Begitu juga dengan mata. Jangan mentang-mentang puasa, lalu kita menjadikan aktivitas “scrolling” di media sosial sebagai hiburan utama. Dari lihat menu berbuka ala Sultan, sampai kepoin mantan yang sekarang bahagia dengan pasangan barunya. Nah, kalau sudah begini, puasanya bisa jadi penyebab patah hati.

Dan yang lebih penting, hati juga harus ikut berpuasa. Jangan biarkan iri, dengki, atau benci bercokol di dalamnya. Ramadan harusnya jadi momen untuk membersihkan hati, bukan malah mengisinya dengan perasaan negatif.

 

Lulus Puasa Level Rumi

Level Perut, Puasa dari Makanan dan Minuman

Ini jelas yang paling dasar. Tidak makan dan tidak minum dari subuh sampai magrib adalah syarat wajib puasa. Tapi kalau puasanya cuma sebatas ini, ya nggak jauh beda dengan hewan yang nggak makan seharian. Rumi menekankan bahwa puasa sejati bukan hanya soal mengosongkan perut, tapi juga mengisi hati dengan kesadaran spiritual.

 

Level Lidah, Puasa dari Gibah, Nyinyir, dan Omongan Sia-Sia

Kalau puasanya sah di perut, tapi lidah masih sibuk gibah, nyinyir, atau julid di media sosial, ya… bisa jadi pahala puasanya tinggal nama. Rumi mengajarkan bahwa puasa lidah lebih sulit daripada puasa perut. Bukan hanya menahan diri dari bicara buruk, tapi juga belajar berbicara dengan makna. Karena katanya, “Lidah yang tak terjaga lebih tajam dari pedang.”

 

Level Mata, Puasa dari Hal-hal yang Nggak Perlu Dilihat

Puasa bukan cuma urusan mulut dan perut, tapi juga mata. Kalau siang-siang lagi puasa, tapi mata masih sibuk stalking mantan, lihat hal-hal yang nggak pantas, atau kepo dengan kehidupan orang lain hanya untuk julid, itu tandanya puasa kita masih level newbie. Rumi mengajarkan bahwa mata harus diarahkan pada hal-hal yang mendekatkan kita pada kebaikan, bukan sekadar memuaskan rasa ingin tahu yang nggak perlu.

 

Level Hati, Puasa dari Iri, Dengki, dan Penyakit Hati Lainnya

Ini level tertinggi dan paling sulit. Puasa yang sempurna adalah ketika hati juga ikut berpuasa dari iri, dengki, benci, sombong, dan segala penyakit hati lainnya. Karena apa gunanya perut lapar, kalau hati tetap penuh dengan amarah dan kebencian? Rumi bilang, puasa sejati adalah ketika hati menjadi lebih bersih dan lebih dekat dengan Allah Swt.

Mungkin terdengar berat, tetapi tenang saja. Tidak perlu langsung jadi manusia suci dalam sehari. Ramadan adalah proses, bukan kompetisi. Yang penting, ada usaha untuk menjadi lebih baik.

 

Ramadan, Saatnya Upgrade Diri

Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus. Ini adalah waktu terbaik untuk meng-upgrade diri, baik secara fisik maupun spiritual. Jika puasa hanya sebatas tidak makan dan minum, lalu setelah maghrib kita kembali melakukan kebiasaan buruk, maka apa bedanya dengan sekadar menahan lapar sebelum makan malam?

Mari kita belajar dari Rumi. Jangan hanya puasa perut, tetapi juga puasa hati dan pikiran. Karena pada akhirnya, yang membuat puasa kita bermakna bukan hanya jumlah hari yang kita jalani, tetapi seberapa besar kita berubah menjadi pribadi yang lebih baik setelahnya. Jadi, siap naik level puasa tahun ini?!  []

 

 

|

Kontributor: Muhammad Arif Luthfi

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar