Oleh: Liza Wahyuninto, M.H.I – Kepala Lembaga Penilitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) STIT Makrifatul Ilmi
Cyber Pesantren | Bulan suci Ramadhan adalah bulan mulia, di hari dan malamnya terdapat pahala yang berlipat bagi yang beribadah. Bahkan bukan hanya ibadah wajib saja melainkan ibadah sunnah pun dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT.
Namun ada beberapa perbedaan antara bulan ramadhan dulu dan saat ini. Perbedaan itu bisa dilihat dari cara perayaan menyambutnya, semangat beribadah di dalamnya dan menu berbuka puasa yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Namun kali ini penulis ingin melihat dari sudut budaya interaksi sosialnya.
Saya terlahir sebagai orang dusun atau bahasa kerennya orang kampung. Kami dulu menyambut ramadhan bersuka cita. Datuk-datuk imam di surau kecil pada sore hari sudah mengumandangkan seruan akan tibanya Ramadhan.
“Anak-anakku, cucu-cucuku kita akan segera memasuki bulan ramadhan, jangan lupa kita yang tua yang muda untuk berpuasa. Anak-anak bunyikankan meriam “buluah”, itu tandanya kita mengusir setan-setan “.
Di malam harinya, tua muda semua ke masjid. Bak idhul fithri atau idhul adha di siang hari, seluruh orang kampung menuju masjid untuk menunaikan ibadah sholat isya dan tarawih. Bedug di pukul tanda panggilan sholat tiba yang dilanjutkan dengan kumandang adzan. Sholat sangat khusyuk, jamaah mendengarkan bacaan imam setiap rakaatnya. Selesai sholat ibu-ibu berkumpul melingkar membaca Al-Qur’an bergantian.
Belum cukup sampai di situ keseruannya, saat sahur tiba, pengurus masjid di surau menyeru masyarakat untuk bangun, bahkan dipanggil dengan nama menunjukkan begitu keakraban terasa. Anak-anak keliling bawa meriam bambu didorong dengan gerobak sepanjang dusun tujuannya untuk ikut membangunkan masyarakat.
Emak-emak bangun, lebih tepatnya saling bangunkan. Kadang mengetuk pintu belakang untuk minta api karena zaman dulu listrik belum sepenuhnya bisa dinikmati.
Ada pula emak-emak yang berbagi sayur mayur atau saling bertukar sayur mayur agar bisa saling nikmat berpuasa. Dan ketika buka puasa akan tiba, emak-emak membungkus makanan di dalam piring bertutupkan sarbet dengan isinya menu berbuka seadanya untuk diantarkan ke orang yang kurang mampu atau ke surau.
Berbeda dengan sekarang, semua serba canggih, serba modern, sehingga interaksi sosial antar masyarakat tidak digunakan kecuali dalam keadaan mendesak itupun juga menggunakan handphone. Tidak ada lagi suara riuh anak-anak bermain meriam bambu karena mereka sibuk bermain game online.
Tidak ada suara ibu-ibu minta api. Tidak ada suara ibu-ibu berbagi sayur mayur, bahkan mirisnya tetangga tidak sahur karena bangun kesiangan pun tidak tahu. Sudah jarang ditemukan emak-emak bawa bingkisan untuk diberikan kepada uwak atau nenek yang hidup sebatang kara.
Ramadhan adalah bulan rahmat, ampunan dan keberkahan. Sayang kalau kita masuk di dalamnya tanpa melaksanakan ibadah. Salah satunya adalah berbagi. Bukankah kata Nabi Muhammad SAW, barang siapa yang memberi maka orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana orang itu berpuasa tanpa Allah kurangi sedikitpun. []